MAKALAH
Qur’an Hadist
Tata Pergaulan
Dosen Pengampu : Nur Habibullah, S.Pd.I M.Pd.I
LOKAL PAI-III B
Di susun
Oleh Kelompok 10
Muhammad Riduan
Muhammad Ridho
SEKO LAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2017
I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karna berkat kehadirat rahmat dan
hidayah nya sehingga kami para penulis
dapat menyelesaikan makalah Qur’an Hadist yang berjudul Tata
Pergaulan.
Ucapan terima kasih kepada orang tua yang telah memberi dukungan
dan do’a. dan juga kepada dosen pembimbing yang telah memberikan pembelajaran
mengenai Qur’an Hadist yang akan di bahas dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini,oleh karena itu kami mengundang para pembaca untuk memberikan
kritikan dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu Qur’an Hadist
ini.
Demikian lah semoga makalah ini dapat memberikan informasi tentang Tata
Pergaulan. bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu Qur’an Hadist bagi kita semua.
Kuala
Tungkal, 23 September 2017
Penulis
II
DAFTAR ISI
Kata
pengantar.......................................................................................... I
Daftar
Isi................................................................................................... II
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tata
Pergaulan....................................................................................
3
1. Etika
Bergaul.................................................................................. 3
2. Tata Cara
Pergaulan Lawan Jenis................................................... 4
3. Tata Cara
Pergaulan Lawan Jenis Berdasarkan Repotase Hadist.. 5
B. Tata Pergaulan
Menurut Al-Qur’an dan Hadist ................................ 7
C. Hadist
tentang Larangan Berduaan
Tanpa Mahram ......................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 10
B. Saran................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bergaul
dengan orang banyak di tengah-tengah masyarakat mempunyai nilai keutamaan lebih
dibanding dengan hidup menyendiri menjauh dari mereka dengan syarat mengikuti
mereka dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun sosial seperti menghadiri
shalat jum’ah, shalat berjamaah, majlis-majlis ta’lim, mengunjungi orang sakit,
mengantar jenazah (ta’ziyah), membantu meringankan beban sebagian anggota
masyarakat yang memerlukan, memberikan bimbingan kepada yang tidak tahu/tidak
mengerti atas suatu persoalan keagamaan maupun sosial serta mampu mengendalikan
diri dari mengikuti hal-hal yang tidak baik dan tabah serta sabar atas segala
gangguan yang mungkin timbul.
Begitulah
yang dapat kita lihat dari riwayat hidup Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat
beliau yang mulia bahkan semua Nabi dan Rasul Allah senantiasa bergaul dan
berinteraksi dengan masyarakat . Di dalam tulisan ini akan dijelaskan 3 pokok
bahasan tentang Tata Pergaulan, yaitu meliputi :
1. Larangan berduaan tanpa
mahram
2. Sopan santun duduk di
pinggir jalan
3. Menyebarluaskan salam
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana tata pergaulan yang baik menurut islam
?
2.
Jelaskan hadist-hadist tentang larangan berduaan
tanpa mahram ?
3.
Bagaimana tata pergaulan
menurut Al-Qur’an dan Hadist?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tata
pergaulan yang baik menurut islam.
2.
Mengetahui dan menjelaskan hadist-hadist yang
menyatakan larangan berduaan tanpa mahram.
3.
Menjelaskan Bagaimana tata pergaulan menurut
Al-Qur’an dan Hadist.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tata Pergaulan
1.
Etika Bergaul
Perhatian
Islam terhadap pergaulan sangat besar sekali, karena adanya urgensi yang besar
dan dampak sensitif, sehingga Islam memerintahkan umatnya agar bergaul dengan
orang-orang yang benar. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:[1]
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ ١١٩
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar”. (Q.S At-Taubah: 119).
Islam juga menganjurkan
agar bergaul dengan para ahli ibadah. Allah berfirman,
وَٱصۡبِرۡ
نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ
هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطٗا ٢٨
Artinya : “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S. Al-Kahfi:28).
Islam juga melarang agar
tidak bergaul dengan orang-orang dzalim, karena banyak sekali pergaulan yang
hanya sesaat saja, tetapi bisa membuka aib teman bergaul sampai hari Kiamat dan
pada akhirnya diiringi sebuah penyesalan yang tidak terhenti.[2]
Islam menjadikan setiap
pergaulan yang ikatan dan hubugannya tidak dibangun di atas ketakwaan kepada
Allah Subhanallah wa ta’ala sebagai sesuatu pergaulan yang mengantarkan kepada
permusuhan yang nyata. Allah berfirman
ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ
بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ ٦٧
Artinya : “Teman-teman
karib pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Az-Zukhruf : 67).
2.
Tata Cara Pergaulan Lawan Jenis
Adapun
pergaulan antara pria dan wanita atau sebaliknya maka itulah yang meimbulkan
berbagai problrm yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan tertentu.
Pergaulan pria dan wanita itulah yang melahirkan berbagai interaksi yang timbul
karenanya.[3]
Islam sebagai agama yang mempunyai karakteristik moderat memberikan batasan
pergaulan antara lawan jenis. System interaksi (pergaulan) dalam islamlah yang
menjadikan aspek ruhani sebagai landasan dan hukum-hukum syari’at tolok ukur
yang didalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak
yang luhur. System islam memandang manusia baik pria maupun wanita sebagai
seorang yang memiliki naluri, perasaan, dan akal.
Dengan
hukum-hukum inilah islam dapat menjaga interaksi antara pria dan wanita
sehingga tidak menjadi interaki yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau
hubungan yang bersifat seksual. Artinya interaksi mereka tetap dalam koridor
kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan dalam melakukan
berbagai aktifitas. Dengan hukum-hukum inilah islam mampu memecahkan hubungan
yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun
wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi.[4]
3.
Tata Cara P ergaulan Lawan Jenis Berdasarkan Repotase Hadis
a.
Haram Duduk Berdua Dengan Perempuan Bukan Muhram. Uqbah Ibn
Amir ra. Menerangkan Yang Artinya: “Bahwsannya Rasulullah SAW bersabda:
janganlah kamu masuk ke kamar-kamar perempuan. Seorang laki-laki Anshar
berkata: Ya Rasulullah
terangkan padaku bagaimana hukum masuk ke dalam kamar ipar perempuan. Nabi SAW
menjawab; ipar itu adalah kematian (kebinasaan).”(H.R.Bukhari Muslim)
Nabi tidak membenarkan kita
masuk ke kamar-kamar perempuan, maka hal ini memeberi pengertian, bahwa kita
dilarang duduk-duduk berdua-duaan saja dalam sebuah bilik dengan seorang
perempuan tanpa mahramnya. Ahli hadis tidak ada yang
mengetahui nama orang anshar yang bertanya kepada Rasul tentang hukum
kerabat-kerabat si suami yang selain dari ayah dan anaknya, masuk ke tempat
istri si suami itu. Diterangkan oleh An Nawawy, bahwa yang dimaksud dengan
Hamwu disini, ialah kerabat-kerabat si suami seperti saudaranya, anak
saudaranya dan kerabat-kerabat lain yang boleh mengawini istrinya bila ia di
ceraikan atau meninggal.
Yang tidak masuk ke dalam
kerabat disini ialah ayah dan anak si suami karena mereka di anggap mahram. Nabi
menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami menjumpai si istri itu sama dengan
menjumpai kematian, karena menyendiri dalam kamar memudahkan timbul nafsu jahat
yang membawa pada kemurkaan Allah dan membawa kepada kebinasaan, atau
menyebabkan si suami menceraikan istrinya jika sang suami pencemburu. Jelasnya,
takut kepada mudah timbul kejahatan dari kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah
daripada yang dilakukan oleh yang bukan kerabat. Karena kerabat itu lebih
leluasa masuk kedalam bilik-bilik si perempuan dengan tidak menimbulkan
prasangka tang tidak-tidak. Mengingat hal ini perlu dihindari masuk ke dalam
bilik orang lain.[5]
Dikarenakan jika kita
berada dalam satu tempat dengan seorang perempuan yang bukan mahram.
Dikhawatirkan kita akan terjebak untuk mengikuti hawa nafsu. Apabila seorang
bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah. Ia akan terpaksa untuk
mengikuti langkah itu dengan langkah berikutnya. Dalam Al-Kafi, Imam As shidiq a.s diriwayatkan
berkata: “waspadalah hawa nafsumu sebagaimana engkau mewaspadai musuhmu. Sebab
tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi manusia selain kaetundukan pada hawa
nafsu dan perkataan lidahnya.”
b.
Haram melihat perempuan yang Bukan Mahram
Dari
Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “telah ditentukan bagi anak
adam (manusia) bagian zinanya. Dimana ia pasti mengerjakannya. Zina kedua mata
adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah
berbicara. Zina tangan adalah memukul, zina kaki adalah berjalan serta zina
hati adalah bernafsu dan berangan-angan, yang semuanya dibuktikan atau tidk
dibuktikan oleh kemaluan.(HR. Bukhari Muslim( Dalam Hadits tersebut
mengandung arti bahwa hadits Imam Bukhari termasuk zina anggota tubuh , tetapi
semuanya tidak hanya dilakukan lewat kemaluan saja melainkan lewat anggota
tubuh lainnya. Misalnya pandangan mata karena awal mula timbulnya hasrat dari
pandangan mata yang tidak terkontrol atau tidak dijaga terhadap hal-hal yang
memancing nafsu birahi , kemudian lisannya bicara yang tidak baik misalnya menggunjing
orang lain, berdusta dan berbicara yang tidak menjurus perbuatan yang
menimbulkan hasrat dengan lawan jenis. Hadits tentang memandang
wanita
مَامِنْ
مُسْلِمٍ يَنْظُرُإِلَى إمْرَأةٍ أَوَّلَ نَظْرَةٍ ثُمَّ يَغُضُّ بَصَرَهُ إلاَّ
أحْدَثَ الله لَهَ عِبَادَةً يَجِدُ حَلاَوَتَه
Artinya : “Tidaklah seorang muslim yang memandang
seorang wanita dalam pandangan pertamanya. Kemudian ia palingkan pandangannya
kecuali Allah menjadikannya nilai ibadah yang akan dirasakan kemanisannya.”
“Memandang
wanita (bukan muhram) merupakan salah satu anak panah iblis. Barangsiapa
meninggalkannya karena takut akan Adzab Allah. Maka Allah akan menganugrahkan
kepadanya iman yang dirasakan manisnya dalam hatinya.”
B. Tata
Pergaulan Menurut Al-Qur’an dan Hadist
Al-Ahzab
Ayat 53
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّآ أَن يُؤۡذَنَ لَكُمۡ
إِلَىٰ طَعَامٍ غَيۡرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنۡ إِذَا دُعِيتُمۡ فَٱدۡخُلُواْ
فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ
كَانَ يُؤۡذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَسۡتَحۡيِۦ مِنكُمۡۖ وَٱللَّهُ لَا يَسۡتَحۡيِۦ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ
وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسَۡٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ
ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ وَمَا كَانَ لَكُمۡ أَن
تُؤۡذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ
أَبَدًاۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا ٥٣
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu
(untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi),
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” (Q.S.
Al-Ahzab : 53)
An-Nur
Ayat 30
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ
يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ
لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٣٠
Artinya
: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat" (Q.S. An-Nur : 30
C. Hadist tentang Larangan Berduaan Tanpa
Mahram
عَنْ
اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا, سَمِعْتُ
رَسُو لَ اللّٰهِ صَلَّي اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْتُبُ يَقُو لُ : لَا
يَخْلُوَ نَّ رَجُلٌ بِاِ مْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو
مَحْرَمٍ ,وَلَا
تُسَا فِرُ اَلْمَرْ أَةُ اِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ , فَقَامَ
رَجُلٌ,
فَقَالَ
:
يَارَسُولَ
اللّٰهِ إِنَّ
اِمْرَ أَتِي خَرَجَتْ حَجَّةً وَاِنِّي اِكْتُتِبْتُ فِي غَزْ وَةِ كَذَا وَكَذَا, قَالَ
:
اِنْطَلِقْ
فَحُجَّ مَعَ اِمْرَ أَتِكَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَاللَّفْظُ اْلمُسْلِمٍ)
Artinya
: "Ibnu Abbas berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW
berkotbah, "Janganlah seorang laki-laki bersama
dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya, dan
janganlah bersafar (bepergian) seorang perempuan, melainkan dengan mahramnya.
"Seorang berdiri dan berkata : Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk
haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada peperangan anu dan anu." Maka
beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah bersama istrimu." (Mutatafaq’alaih)
Penjelasan :
Hadits tersebut menunjukkan haram bersepi-sepian
(berduan) laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Dan ini sudah
disepakati ulama. Telah dijelaskan dalam suatu hadits lain alasan larangan ini,
ialah karena yang menjadi pihak ketiga adalah syetan yang akan menggoda mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan
menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’,
serta memenuhi segala hal yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut
kadarnya.
2.
Haram bersepi-sepian
(berduan) laki-laki dan perem-puan yang bukan mahramnya. Karena yang menjadi
pihak ketiga adalah syetan yang akan menggoda mereka.
3.
Anjuran sopan santun ketika duduk di jalan,
yaitu :
a.
Menjaga pandangan mata.
b.
Tidak menyakiti.
c.
Menjawab Salam.
d.
Memerintahkan kepada kebaikan dan melarang
kepada kemungkaran
4.
Salam juga merupakan doa yang berisi permohonan
kepada Allah Swt. Agar orang yang diberi salam memperoleh keselamatan di dunia
maupun di akhirat.
B.
Saran
Semoga
dengan makalah ini kita dapat memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
tentang tata pergaulan yang baik, berlaku sopan ketika dipinggir jalan, dan
menyebarkan salam kepada sesama muslim. Penulis mengucapkan mohon maaf
kepada semua pihak khususnya para dosen dan umumnya untuk semua mahasiswa
mengenai kritik dan saran.Karena penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun guna perbaikan makalah kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shidqi, Teuku Muhammad
Hasby. 2003. Mutiara Hadits 6. Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra.
Fatimah, Muhammad Khair. 1989. Etika Muslim Sehari-hari. Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR
Khomeni, Imam. 2004. 40 Hadist Telaah atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Nashirudin Al-alnai,
Muhammad. 199M. Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah.
Jakarta: Gema Insani Press
Nawawy, Imam. 1999. Riadhus
Sholihin Imam Nawawy. Jakarta: Pustaka Armani.
[1]
Teuku Muhammad Hasby Ash Shidqi, Mutiara Hadits 6,
Semarang ;PT Pustaka Rizqi Putra, 2003, hal., 365.
[2]
Muhammad Khair Fatimah, Etika
Muslim Sehari-hari, 2002.PUSTAKA
AL-KAUTSAR, Jakarta. Hlm. 281-282
[3] Imam Khomeni, 40
Hadist Telaah Atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004, hal., 196
[4] Muhammad
Nashirudin Al-alnai, Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 199M, hal. 266-267.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar